Senin, 14 November 2016

Loving Fae

Shazfa menangis tersedu. Sudah lama sekali dia tidak menangis seperti hari ini. Rasa sesak, ingin berteriak, ingin berlari. Sayang kondisinya belum sembuh benar untuk berlari. Masalah proposal yang belum diterima sungguh menyita perhatian. Beberapa kali Shazfa harus ke luar kota. Tapi yang membuatnya menangis bukan itu. Mungkin beban ini terasa berat karena Shazfa merasa terpojok soal perasaannya terhadap Fae yang tak pernah ada kejelasan.
Dara bertanya padanya " Fa, lu nunggu apalagi sih? udah 2 tahun loh sejak Fae nyatain dia suka sama lu. Ga semua orang bisa bertahan selama itu tanpa kejelasan. Garis bawahi ya Fa, tanpa kejelasan. Gue temen lu, gue ga mau aja semua terlambat ketika lu nyadar kalau lu benar-benar sayang sama dia. Dan lu kembali sakit terus lu susah move on lagi, terus ceritanya berulang lagi. terus lu bilang kalau semua laki-laki itu sama. Lu yang buat hati lu sakit Fa. Maaf ya Fa. Gue tau rasanya jadi lu. Gue juga pernah dihianati seperti apa yang lu alami. Tapi bukannya itu emang cara tuhan untuk jauhin kita dari orang yang salah ya Fa. Jangan berlarut-larut gini dong. Kelamaan ini. Kasian sama hati lu yang sebenarnya udah lelah merasa sakit. Percaya sama gue ya Fa." Adara membelai rambut Shazfa yang menjuntai, sebagian ke wajahnya. Shazfa berbaring di sebelah Adara. Adara duduk bersandar pada kepala dipan.
Shazfa hanya terdiam, dalam hati dia membenarkan perkataan Dara. Adara sangat memahaminya. Mereka sudah berteman sejak kuliah. Apa yang dialami Shazfa terjadi dihadapannya. Dia tau seperti apa terpuruknya Shazfa saat itu. Satu minggu sebelum hari pernikahannya, Shazfa menemukan tunangannya bersama wanita lain. Hanya Tuhan yang tau apa yang terjadi saat itu. Beberapa undangan yang tidak sempat dihubungi perihal pembatalan acara, datang ke rumahnya. Berkali-kali keluarganya harus menceritakan pembatalan tersebut. Berhari-hari Shazfa menolak untuk ke luar rumah. Walau sudah berlalu, dia masih sering merasa pandangan mereka terhadapnya masih ada hubungannya dengan batalnya pernikahan.
Adara salah satu orang yang juga menyemangatinya untuk kembali bangkit. Beberapa bulan setelah itu, secara kebetulan Shazfa bertemu Faeyza. Mana mungkin Shazfa berfikiran kalau Faeyza lah yang dikirim tuhan untuknya. Bahkan sudah dua tahun berlalu rasa percaya itu belum dimilikinya.
"Sebenarnya gimana sih perasaan lu sama dia? Kadang gue yakin banget kalau lu sayang sama dia, tapi kadang sikap lu juga bikin ragu." Adara ikut berbaring di sisi Shazfa.
" Siapa sih yang ga cinta sama orang seperti Fae, ra. Dia dewasa dan ngemong banget. Lembut. Beberapa kali gue sengaja bikin dia kesel tapi dia ga kepancing. Emang umurnya emang udah matang sih. Beberapa tahun di atas gue umurnya. Tapi mencintai dengan rasa ingin dinikahi itu sesuatu yang berbeda Ra. "
" Ga ngerti gue Fa. Lu ga bisa menyederhanakan perasaan lu ya. Yang gue tau ya cuma cinta, ga ada rasa, sama benci doang. Tapi di hati lu bisa jadi seribet itu ya. Jangan-jangan lu cinta sama Arya? Atau?" Adara tiba-tiba merinding, berbalik memandang Shazfa, menyentuh bahunya. "Gue ga kebayang kalau lu diam-diam cinta sama pak Warman. Kan tipe idaman lu banget tu. Matang, ngemong, humoris, intelektual." Adara terhenti tidak bisa menahan tawanya. " Emang lu sepinter itu ya, sok intelek lu. Tau cara memperlakukan hati lu yang rapuh ya." Adara memeluk Shazfa karena menyadari candaannya tidak terdengar lucu bagi Shazfa.

" Lu kadang-kadang yang bikin gue bingung ra. Lu kenal gue berapa lama sih. Bisa ga sih lu bedain mana yang cinta antara laki-laki dan perempuan, mana yang cinta lainnya. Bahkan kalau ada orang kembar yang memiliki sifat yang sama, gue bisa nentuin sikap mana yang harus gue cintai. Karena posisi mereka di hati gue pasti beda. Dan ga semua kriteria yang gue ingin kan harus dimiliki laki-laki yang gue cintai kok. Gue tau kita sama-sama manusia yang punya kekurangan. Seperti gue mau dia memaklumi setiap kali gue bikin salah seperti itu juga gue mencoba memaklumi mereka di mata gue." Shazfa sesenggukan, tangisnya masih tersisa walau air matanya sudah tidak lagi ada.
"Gue pernah sayang banget sama orang gendut, karena hal yang sederhana. Dia tau cara memperlakukan gue. Gue juga pernah merasa takut banget kehilangan seseorang karena dia selalu sabar ngadepin gue. Jangan gara-gara umur gue yang udah masuk kategori wajib nikah, gue bisa langsung cinta sama setiap orang yang perhatian sama gue. Ga ra, gue cukup tau posisi gue kok. Dan gue tau hati gue. Mana yang cinta, mana yang rasa menghargai. Kalau gue kikuk ya itu karena gue aja yang ga bisa bersikap. Kenapa lu jadi mikir gue yang engga-engga sih." Suara Shazfa terdengar getir. Dia benar-benar terpojok dengan candaan Adara. Itu memang bukan lelucon yang pas saat ini.

"Maaf Fa." Adara menyesal dengan apa yang dikatakannya. Hanya satu kata itu yang mampu keluar dari mulutnya. Dan sebuah pelukan seorang sahabat.
"Gue Cinta sama Fae. Dia lebih dari ideal bagi gue. Karena itu gue kadang ragu apa rasa yang gue beri sama dia akan sebanding dengan apa yang dia berikan sama gue. Gue bukan ga yakin sama dia. Gue ga yakin sama diri gue sendiri." Shazfa menarik nafas dalam- dalam agar tidak menangis lagi. Setidaknya kini dia lega sudah menuangkan apa yang dirasakannya pada Adara.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar