Jumat, 25 Desember 2015

Kaca Pembatas Kasta

         Siang yang cukup terik untuk sekedarberjalan-jalan. Hari ini hari minggu. Hati gundah tak menentu. Kesibukan mengejar deadline mematikan, benar- benar menyesak hingga ke ubun-ubun. Tadi malam kembali ditanya, soal yang sama. Aku harus jawab apa. " Ya kita kan bisa berencana, tapi Tuhan yang menentukan semuanya kan" jawabku seperti biasa. "Deadline mundur lagi" kataku muak. Muak pada diri sendiri yang selalu memaklumi kekurangan. Keep fightingsse! Itu moto yang selalu ku dengungkan, ku dendangkan agar semangatku tak padam. Tak boleh surut melangkah. Agar hati tetap terjaga, aku paksakan untuk berjalan-jalan. Dalam hati aku berharap, banyak yang akan dilihat aku pasti akan banyak belajar tentang sesuatu.
        Sunday morning deretan pasar kaget sudah hampir tutup. Jelas, ini sudah tidak lagi pagi. Yang jogging juga pasti sudah kepanasan dan pada pulang. Aku datang juga cuma ingin melihat-lihat. Aku memandangi seorang anak hydrosepalus terbaring lemah, dengan kantong di hadapannya. Aku mengurut dada. Berat yang kupikirkan tak kan seberat apa yang dirasakan oleh anak ini pikirku. Aku kembali bersyukur dengan hidupku. Wajahku terasa memanas. Pasti sudah memerah, keringatpun sudah bercucuran. Kupaksakan terus berjalan. Benar-benar berjalankaki. Aku tak ingin menangis. Aku hanya ingin belajar bersyukur hari ini. Itu yang kubutuhkan hari ini. Dan anak itu sudah mengajariku satu pelajaran. 
          Deretan penjaja pakaian dan makanan sudah habis. Aku terus berjalan. Aku di sapa oleh seorang tukang becak tua. Warna bajunya sudah terlihat lebih gelap karena basah oleh keringat. Usianya juga sebaya kakekku kalau beliau masih hidup. Benar-benar sudah tidak sesuai dengan usianya. Seharusnya di usia setua itu, dia duduk di rumah menikmati hari tua. Aku kembali terenyuh. Aku benar-benar tidak ingin menangis, batinku. Aku hanya ingin mengamati sekitarku. Dan aku masih memilih berjalan. Aku benar-benar ingin menikmati perjalanan ini. 
      Sampai di pinggir jalan, aku menghentikan sebuah bus kota. Aku menuju pusat perbelanjaan berikutnya. Aku duduk tertunduk, cuaca benar-benar sudah mulai panas. Pak sudah sampai belum? Aku mendengar seorang bapak bertanya pada sopir bus kota. "Belum pak. Tar kalau sudah sampai saya kasih tahu" jawab sopir, pada bapak itu. Kuangkat wajahku. Aku ingin tahu siapa yang berbicara. Aku sedikit kaget, ketika mengetahui bapak yang berdiri di hadapan kursiku adalah seorang tuna netra. Aku tak ingin menangis. Aku hanya ingin melihat, siapa yang ada di sekelilingku. Mataku mulai memanas. Tapi tak ada air mata di sana. Bisa kupastikan, aku tidak menangis. Bapak itu, turun sebelum aku turun, beliau dibantu oleh kondektur. Kuhembuskan napas yang terasa membebani dadaku. Sesak.
      Akhirnya aku sampai juga. Aku turun. Menuju tempat makan. Memang jam makan siang sudah tiba. Perutku minta diisi. Aku masuk dan ikut antrian. Mencari tempat yang kosong. Nah di sana. Dekat kaca. Tempat favoritku. Aku duduk sendiri. Kuminum air di hadapanku, karena sudah kehausan sedari tadi. Aku mengangkat gelas pelastik sambil melihat keluar kaca besar di samping kananku. Aku memperhatikan dua orang anak yang duduk di lantai selasar. Ya mereka berdua duduk di sana. Tidak memperdulikan bersih atau tidaknya lantai selasar. Aku melihat sang kakak berbicara pada adiknya, lalu meninggalkan sang adik duduk sendirian di sana. Tak lama sang kakak datang membawa es krim yang di jual restoran cepat saji tempatku makan. Hanya satu. Adegan selanjutnya membuat aku tak lagi sanggup menahan campur aduk emosi yang sudah kutahan sedari tadi. Mereka bergantian memakan es krim itu. Berkali-kali aku meminum air, untuk membantuku menelan makanan yang terasa tersangkut di kerongkonganku. Makanan yang dianggap sebagian orang adalah makanan biasa, bagi sebagian lain masih dianggap mewah. Dan kadang kita dengan nikmatnya melahap itu semua. Kali ini aku menangis. Aku sering sebegitu tak bersyukurnya dengan nikmat yang kudapat. Sementara yang lain butuh perjuangan untuk mendapatkannya. Dan hanya karena telpon yang menyesakkan hati, membuat semangatku runtuh. Betapa lemahnya aku. 
          Kali ini aku tak peduli ada yang memperhatikanku sedang menangis sendiri. Aku hanya ingin merasakan tiap tetes air mata itu, dapat mendamaikan hatiku. Dan tiap tetes air mata yang jatuhkan, sekali lagi menguatkan langkahku. Mencuci kesombonganku. Membangun rasa syukurku. Rasa syuķur ku ke hadirat illahi rabbi, telah menganugrahkan hidup yang tak sebegitu sulit untuk kujalani. Selalu membantuku menghilangkan rintangan yang ada di hadapanku. Alhamdulillah atas nikmatmu ya Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar