Sabtu, 13 Agustus 2016

AKU





" Mbak, mana file yang harus saya kirim hari ini?"
" Mbak, revisian proposal kemarin bisa saya ambil?"
" Mbak, tar siang jadi ketemu sama klien?"


Aku hanya menatap mereka dan menghela nafas. Mereka semua terdiam, balik menatap ke arahku.
" Plis, kalau mau nanya juga harus ngantri. Ga lihat saya juga lagi apa." Protesku. Ini hari Senin yang melelahkan. It's a bad day, pikirku. Bukan masalah mood. Tapi memang semua seolah mengganggu pikiranku. Aku butuh liburan. Liburan panjang. Sangat panjang.

Mendengar jawabanku, mereka hanya meringis. Aku berikan satu persatu yang mereka butuhkan. "Dan Lira, barusan klien kita menelpon dan membatalkan janji. Oh saya ralat. Bukan membatalkan, tapi menunda meeting kita untuk waktu yang belum ditentukan. Think possitive right?" Jawabku pada Lira.

Lira hanya menyipitkan matanya melihatku. Seolah tidak percaya dengan penjelasan ini. Bapak Arya Fahmi Winata yang kemaren sangat bersemangat ingin berinvestasi tapi tiba-tiba ingin mempelajari lebih jauh lagi tentang proposal yang kami tawarkan. Lelucon.

Lira ke luar dari ruanganku dengan masih membawa tanda tanya besar. Entah apa dipikirannya. Mungkin semua orang berduit seperti itu. Aku bangkit dari dudukku. Berjalan hingga ke ujung koridor. Berbelok ke balkon. Ini tempat favoritku. Aku membenamkan tubuhku di sofa coklat di sana. Angin bertiup menyejukkan hatiku. Kami butuh suntikan dana, harapanku melambung ketika mendengar Lira berhasil membujuk pak Arya untuk menanam modal di sini. Harapanku tiba- tiba menguap tertiup angin ketika mendengarnya menunda niatnya. Aku harus mencari orang lain yang mau. Tapi siapa. 

 "Mbak, mau kopi?" suara pak Warman mengagetkanku. Tangannya memegang cappucino dingin yang baru dibelinya di caffee depan kantor kami. Beliau tahu betul di mana saya harus ditemukan jika tidak sedang berada di ruangan. 
"Makasih ya pak" kataku sambil mengambil cup cappucino yang disodorkan padaku. Pak Warman ikut duduk di sebelahku sambil memegang cup kopi hitam miliknya. Kami sama- sama melihat jauh ke depan. Menikmati tiupan angin.

"Tiupan angin ini juga patut disyukuri ya mbak" Katanya kembali membuyarkan lamunanku.

Aku hanya bisa membalasnya dengan senyum. Benar kata pak Warman. Bahkan angin segar yang menenangkanpun adalah rizki yang tak terhingga dari Allah yang patut disyukuri. Harapanku kembali hidup.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar